Kamis, 19 April 2012

Info

Ada info baru nih bagi Anda yang gemar dengan komik. Sudah pasti, info yang berkaitan dengan bacaan kegemaran Anda itu tentunya. Yaitu bahwa sejak tanggal 19 hingga 31 Oktober 2011, diselenggarakan pameran bertajuk “Sejarah Komik Indonesia” yang diadakan oleh Akademi Samali, bekerjasama  dengan Institut Français Indonesia (IFI), di Pusat Kebudayaan Perancis, Jalan Salemba Raya No.25, Jakarta Pusat. Persisnya di seberang Kampus UI Salemba, di sebelah gerai 7 Eleven Salemba.
Beng Rahadian saat membuka pameran, di sebelah kanannya Djair Warni (duduk). (Foto: Thamrin Mahesarani)Beng Rahadian saat membuka pameran, di sebelah kanannya Djair Warni (duduk). (Foto: Thamrin Mahesarani)Dalam pameran ini, pengunjung akan disuguhi dengan beragam arsip mengenai sejarah masa lalu komik Indonesia, yang dirangkum dalam beberapa panel, yang menggambarkan catatan rinci perjalanan komik di Indonesia sejak mulai tahun 1931 hingga 2011. Sudah komplit? Pastinya belum. Karena kita bangsa yang kurang telaten mengurusi arsip-arsip, sehingga banyak sekali catatan dan benda bersejarah yang akhirnya hilang tak terlacak. Termasuk arsip dan karya-karya komik yang bersejarah.
Menurut Beng Rahadian, Ketua Akademi Samali, tujuan dari diadakannya pameran ini adalah untuk memberikan edukasi kepada masyarakat, mengenai perkembangan komik di Indonesia mulai dari perubahan-perubahan karakter komik di Indonesia, genre, ide cerita, hingga munculnya komunitas-komunitas komik seperti yang terjadi pada beberapa tahun belakangan ini.
Foto: Novriyadi/TNOLFoto: Novriyadi/TNOL
Foto: Novriyadi/TNOL
Foto: Novriyadi/TNOL
“Dengan adanya pameran ini, diharapkan pengunjung bisa memahami, bahwa ternyata komik di Indonesia itu sudah lama muncul, yakni tahun 1931,” kata Beng.
Foto: Thamrin MahesaraniFoto: Thamrin MahesaraniSelain, memamerkan runtunan arsip perjalanan komik di Indonesia, di sana pengunjung juga bisa membaca beragam komik-komik indie asli buatan anak bangsa, baik yang sudah dicetak maupun yang berupa fotokopian. Tidak hanya itu, dalam acara ini juga diadakan kegiatan bakti sosial untuk membantu komikus senior Djair Warni yang menderita diabetes, yaitu dengan cara memberikan seluruh hasil penjualan souvenir, yang berupa t-shirt bergambar tokoh komik karya Djair – 'Jaka Sembung'. “Harga t-shirtnya Rp 109 ribu,” kata Beng.
Foto: Novriyadi/TNOLFoto: Novriyadi/TNOL Berkaitan dengan perkembangan komik di Indonesia, Beng sendiri menilai, saat ini Indonesia telah kehilangan karakter tokoh komik Indonesia yang fenomenal, setelah dahulu Indonesia mempunyai karakter tokoh komik yang kuat seperti 'Si Buta Dari Gua Hantu' ataupun 'Jaka Sembung', dan kemudian dilanjutkan dengan 'Benny dan Mice'. Setelah itu, tidak ada lagi komikus yang dapat menciptakan karakter komik yang kuat.
Foto: Novriyadi/TNOLFoto: Novriyadi/TNOLSelain itu, Beng sendiri menilai, saat ini ide cerita komik Indonesia lebih mengarah kepada humor yang menceritakan situasi sosial. “Setiap masa, trend cerita komik di Indonesia berubah-ubah, yang tadinya dari cerita silat menjadi humor kritik sosial,” jelas Beng.“Ya, semoga saja dengan adanya acara ini, dapat mengispirasi para komikus untuk membuat karakter komik yang kuat,” kata Beng.
Ya udah deh, supaya lebih nyata ujud dukungan kita kepada kebangkitan kembali komik Indonesia, yuk kita ke pameran Sejarah Komik Indonesia. Pameran ini dibuka mulai dari pukul 10 pagi hingga pukul 7 malam, sampai 31 Oktober 2011. Dan gratis!

Rabu, 18 April 2012

Sejarah Komik Indonesia

Komik Indonesia, dalam pengertian buku bacaan yang berisi cerita dalam bentuk gambar dan aksara, atau kadang cuma gambar saja, seperti yang selama ini kita kenal, pertama kali muncul pada awal tahun 1931, di media massa masyarakat Cina berbahasa Melayu. Harian Sin Po namanya. Ketika itu, Kho Wan Gie yang kemudian menggunakan nama Sopoiku, memulai debut cergam humor yang menceritakan tentang sosok lelaki gendut bermata sipit, bernama Put On, yang suka melindungi rakyat kecil.

Marcel Bonneff, peneliti sejarah dan perkembangan komik Indonesia, menempatkan titik awal sejarah pertumbuhan Komik Indonesia ialah pada awal Perang Dunia Pertama, yaitu dengan dipublikasikannya cerita bergambar yang bercorak realistis di Harian Ratoe Timoer, Solo, pada tahun 1939, yang berjudul Mentjari Poetri Hijaoe, karya Nasroen A. S.

Langkah-langkah awal kelahiran komik Indonesia ini dilanjutkan oleh komikus-komikus lain, yang antara lain: B. Margono, yang membuat komik Roro Mendut dan dipubliksikan di Harian Sinar Matahari Jogjakarta, pada masa pendudukan Jepang – 1942.
Setelah Indonesia merdeka – 19 Desember 1948, Harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, memuat komik Kisah Pendudukan Jogja, karya salah seorang pionir komik Indonesia, Abdulsalam. Menurut temuan Arswendo Atmowiloto, berdasar pada katalog atau kartu yang sesuai dengan iklan dalam Minggu Pagi, bahwa Kisah Pendudukan Jogja ini pernah dibukukan, dan beredar pada 19 Desember 1952, yang berarti merupakan buku komik pertama yang terbit di Indonesia. Dan ini bisa dijadikan koreksi atas catatan Marcel Bonneff yang mengatakan bahwa komik Indonesia yang pertama dibukukan adalah Sri Asih, yang beredar pada sekitar 1953 atau 1954, karya R. A. Kosasih (komikindonesia.com – 19 Juli 2007).

Ko Put On adalah komik strip pertama di Indonesia, yang dimuat di harian Sin Po. Siapa yang saat ini tidak mengenal Doyok, Panji Koming, Beni & Mice, atau Lotif? Sebagian besar penduduk Jakarta pasti mengenal mereka karena mereka adalah tokoh-tokoh dalam komik strip yang ada dimuat dalam beberapa surat kabar. Namun, siapakah dari kita yang saat ini mengenal Ko Put On?

Saat ini Ko Put On hanya dapat diumpai di Perpustakaan Nasional dalam surat kabar Sin Po edisi tahun 1930-1960-an karena Ko Put On adalah tokoh utama dari komik strip yang diciptakan oleh Kho Wan Gie, seorang Indonesia keturunan Tionghoa yang menjadi pelopor komik strip pertama di Indonesia.

Seperti umumnya komik strip pada saat ini, selain berisi cerita tentang kehidupan sehari-hari, Put On juga menceritakan kondisi yang tengah terjadi pada masyarakat Jakarta di masa itu. Dan karena latar belakang pembuatnya keturunan Tionghoa, maka topik dalam komik strip yang dibuatnya itu pun terkadang menyangkut masalah-masalah yang dihadapi orang-orang keturunan Tionghoa saat itu.

Dalam buku Jakarta-Batavia: Esai Sosio-Kultural, Myra Sidharta menyebut, sepanjang lebih dari 30 tahun, Put On menjadi panutan bagi para pembaca Sin Po yang kebanyakan orang Tionghoa peranakan di Indonesia. Karena jangka waktunya sebegitu lama, kita bisa mengikuti perubahan yang terjadi pada peranakan Tionghoa, terutama yang tinggal di Jakarta, lewat komik Put On.

Perubahan itu bersifat politis, sosial, dan budaya. Selama periode itu, Put On membantu mereka melihat perubahan yang menjengkelkan, atau bagi sebagian orang menakutkan, melalui sudut pandang berbeda, yaitu sudut pandang komik (KITLV, 2007).

Put On sendiri berasal dari ejaan Hokkian (Fujian) dari Bu An atau "Si Gelisah". Hal ini mungkin dimaksudkan sebagai cerminan dari masyarakat saat itu yang selalu mengalami "kegelisahan" karena keadaan dan situasi politik yang tidak menentu.

Sayangnya, komik strip Ko Put On ini, seperti komik-komik strip lain, tampaknya masih dipandang sebelah mata sebagai "saksi sejarah" sehingga tidak ada usaha mendokumentasikan, bahkan membukukannya.

Dengan meninggalnya sang pembuat, Kho Wan Gie, pada tahun 1983, komik ini semakin tercecer dan mulai menghilang seiring waktu. Sayang sekali, padahal kita dapat belajar banyak darinya. (Lily Utami, pemerhati sejarah dan budaya lulusan jurusan Arkeologi UI).